Biografi Pakubuwono X
Kelahiran Pakubuwono X
Sri Susuhunan Pakubuwono X yang nama kecilnya merupakan Raden Mas Malikul Kusno, lahir pada 29 November 1866 di Surakarta, Jawa Tengah. Dia merupakan putra Sri Susuhunan Pakubuwono IX dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah.
Konon cerita kelahirannya jadi kaca ketidakharmonisan ikatan antara bapaknya dengan pujangga Ranggawarsita. Diceritakan, pada kala Raden Ayu Kustiyah baru mengandungnya, Pakubuwono IX bertanya apakah anaknya nanti lahir pria ataupun wanita. Ranggawarsita menanggapi nanti hendak lahir hayu.
Pakubuwono IX kecewa mengira anaknya hendak lahir menawan alias wanita. Sementara itu dia berharap menemukan putra mahkota dari Ayu Kustiyah. Nyatanya, Ayu Kustiyah melahirkan balita pria yang tak lain ialah, Malikul Kusno.
Pakubuwono IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset. Ranggaswarsita kemudian menerangkan kalau sebutan hayu bukan berarti‘ ayu’ ataupun‘ menawan’, melainkan kependekan dari rahayu yang berarti‘ selamat’. Mendengar jawaban Ranggaswita tersebut, Pakubuwono IX merasa dipermainkan sebab sepanjang berbulan- bulan menempuh puasa berat.
Hubungan tidak menyenangkan antara Pakubuwono IX dengan Ranggawarsita sebenarnya karena fitnah Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.
Masa Remaja dan Dewasa Pakubuwono X
Pada tanggal 30 Maret 1893, Raden Mas Malikul Kusno naik tahta sebagai Pakubuwana X menggantikan ayahnya yang telah meninggal dua minggu sebelumnya. Pakubuwana X menikah dengan GKR. Hemas (putri Sultan Hamengkubuwana VII) dan dikaruniai seorang putri bernama GKR. Pembayun.
Pemerintahannya ditandai dengan kekayaan dari mulai tradisi serta politik kerajaan yang stabil. Selama masa pemerintahannya yang panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi dari kerajaan tradisional ke era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda.
Peran dan Perjuangan Pakubuwono X
Di bidang sosial ekonomi, Pakubuwono X memberikan pinjaman untuk membangun rumah bagi masyarakat miskin. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan orang tua kerajaan.
Banyak infrastruktur modern kota Surakarta dibangun pada masa pemerintahannya, seperti gedung Pasar Gede Harjonagoro, stasiun Solo Jebres, stasiun SoloKota (Sangkrah), stadion Sriwedari, kebun binatang Jurug, jembatan Jurug melintasi Bengawan Solo di sebelah timur kota, Taman Balekambang, pintu masuk kota terbatas Surakarta, rumah potong hewan di Jagalan, rumah singgah bagi para tunawisma dan rumah duka bagi warga Tionghoa.
Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X menerima bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan gelar raja Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.
Meskipun mendapat tekanan politik dari pemerintah kolonial Belanda di Hindia Timur, Pakubuwana X memberikan kebebasan untuk mengatur dan menerbitkan media massa. Ia mendukung berdirinya organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi gerakan nasionalis pertama di Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Selama pemerintahannya yang panjang, berturut-turut berurusan dengan 10 gubernur dan 13 penduduk, Pakubuwana X mampu menghindari perselisihan serius, bahkan muncul sebagai teman pemerintah Hindia Belanda.
Namun tak hanya itu saja, kekuasaannya sebagai raja Jawa di mata rakyatpun semakin meningkat. Kesetiaannya kepada Hindia Belanda tidak diragukan lagi dengan kontrak politik yang ditandatanganinya saat naik takhta sebagai Susuhunan pada tahun 1893.
Pakubuwana X mengakui bahwa sebagai cucu Pakubuwana VI, yang pada tahun 1831 diasingkan ke Ambon oleh Belanda, ia merasa harus melanjutkan perjuangan pendahulunya untuk mengusir penjajah.
Menyatakan kecenderungan Pakubuwana X untuk melakukan kegiatan politik dilaporkan kepada atasannya oleh Residen Sollewijn Gelpke (191 1918). Secara berkala, ia menemukan bahwa Pakubuwana X membutuhkan terjemahan dari laporan-laporan penting dari De Locomotief, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang diterbitkan di Semarang.
Adapun bagian berita Perang Dunia I, Gelpke memperhatikan bahwa Pakubuwana X bersimpati kepada Jerman seperti halnya banyak orang Indonesia pada saat itu, termasuk Sarekat Islam. Peran Pakubuwana X sebagai dewa masyarakat Islam di Surakarta juga diapresiasi oleh Belanda.
Sementara itu, seorang warga yang bernama L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X harus diperhitungkan. Schneider adalah orang pertama yang mempertanyakan pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah.
Meskipun perjalanan dan kunjungan ini secara teoritis anonim, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa dan Salatiga (dari tahun 1903 hingga 1906) sebenarnya dapat dikualifikasikan sebagai kunjungan resmi.
Kunjungan tersebut dapat dilihat sebagai cerminan dari tujuan politik Pakubuwana X untuk memperluas pengaruhnya sebagai Raja Jawa. Ia juga mengunjungi Bali dan Lombok, serta Lampung.
Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X tiba di wilayah Priangan, ditemani oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan dan Cirebon, Pakubuwana X lama tinggal di Garut dan Tasikmalaya.
Di Garut, ratusan orang berkumpul untuk menunggu kedatangan Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwana X melakukan perjalanan lagi ke Madiun, ditemani oleh 58 bangsawan dan abdi dalem.
Perjalanan ini resmi disebut anonim lagi, tapi itu benar-benar membuat image Pakubuwana X menonjol. Ia menjual banyak cinderamata berlogo PB X. Bupati menerima keris bertatahkan permata, dan wedana dan wedana pembantu menerima aneka jam tangan emas.
Untuk mendukung dan meningkatkan semangat kebangsaan pada masyarakat (Jawa), Pakubuwana X terus melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya.
Bahkan, Belanda sangat ingin membatasi popularitas Pakubuwana X. Meski perjalanan itu anonim, Pakubuwana X selalu membuat semua orang terkesan sebagai kaisar Jawa. Setelah perjalanan ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, bertepatan dengan tumbuhnya radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X berhenti bepergian pada tahun 1923.
Baru pada tahun berikutnya ia melakukan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar.
Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi di tahun 1927. Diiringi orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu.
Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.
Akhir Hidup Pakubuwono X
Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939 pada umur 72 tahun. Ia disebut sebagai Sinuhun Wicaksana atau raja besar dan bijaksana.
Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, BRM. Antasena, yang kemudian bergelar Pakubuwana XI.
Oleh pemerintah Indonesia, Pakubuwana X dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2011 melalui Keppres No. 113/TK/2011.
Kesimpulan
Pakubowono X dilahirkan di Surakarta pada tanggal 29 November tahun 1866. Nama lahirnya (asma timur) adalah Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri KRAy. Kustiyah.
Ia naik tahta 2 minggu setelah sang ayah wafat, tepat pada tanggal 30 Maret 1893. Dalam masa kepemimpinannya, ia dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun minim bentrokan.
Beliau wafat pada tanggal 30 Maret 1893, dan posisinya diganti oleh sang Putra yakni BRM. Antasena yang bergelar Sultan Pakubuwono XI.